MEMPERINGATI HARI REFORMASI

 Narasi informatif peringatan hari reformasi

Apa itu Reformasi? 

Reformasi berasal dari bahasa inggris, yaitu re form “mem-perbaiki” yang berarti perubahan suatu sistem yang sudah ada pada suatu masa”. Kata-kata reformasi dalam pemerintahan yang dapat diartikan perubahan/perbaikan suatu sistem dalam pemerintahan, Dilakukannya reformasi dalam suatu sistem jika dianggap sistem yang digunakan itu sudah tidak efisien lagi dalam mencapai suatu tujuan. Salah satu tanda reformasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia dalam pemerintahan presiden soeharto adalah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998. Pendapat Sinambela dkk, (2014: 25) menyatakan bahwa: Secara teoretis, reformasi adalah perubahan di mana ke dalamannya terbatas sedangkan keleluasaan perubahannya melibatkan seluruh masyarakat. Pengertian ini akan lebih jelas jika dibedakan dengan revolusi. Konsep terakhir menunjukkan ke dalaman perubahannya radikal sedangkan keluasan perubahannya melibatkan pula seluruh masyarakat. Sebagai perubahan yang penataan kembali bangunan masyarakat, termasuk cita-cita, lembaga-lembaga dan saluran yang ditempuh dalam mencapai cita-cita.


Definisi Reformasi

Reformasi adalah suatu perubahan tatanan kehidupan lama dengan tatanan kehidupan yang baru yang bertujuan ke arah perbaikan kehidupan di masa depan. Orang yang mendukung reformasi disebut dengan reformis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Gerakan ini muncul karena keadaan keadaan masyarakat Indonesia sejak terjadinya krisis moneter dan ekonomi sangat terpuruk.

https://b-pikiran.cekkembali.com/reformasi/

Kenapa harus ada reformasi

Gerakan reformasi terjadi atas tuntutan rakyat kepada pemerintah. Secara umum latar belakang munculnya reformasi karena penyelewengan dan perlakuan tidak adil pada era Orde Baru. Ketidakadilan tersebut terjadi di berbagai bidang, yaitu politik, hukum, dan ekonomi. Di mana semua bidang terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sehingga pemerintah masa Orde Baru dinilai tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kekecewaan tersebut kemudian mendorong gerakan reformasi. Partai Golongan Karya Mendominasi bidang politik Pemilu dilakukan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan untuk menegakkan demokrasi. Di Era Orde Baru telah terjadi enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1992, dan 1997.Di mana setiap pelakaanaan Pemilu, partai Golongan Karya selalu mendominasi pemenangan. Hal tesebut karena semua elemen pemerintahan (pegawai negeri) diharuskan memilih Golkar atau Golongan Karya. Hasil pembangunan tidak merata Pemerintahan Orde Baru selalu memfokuskan pembangunan di Pulau Jawa. Sementara daerah lainnya kurang diperhatikan. Pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh sebagian kecil dari maayarakat. Beberapa daerah luar jawa tetap miskin walaupun menyumbang devisa lebih besar untuk negara. Misalnya, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi negara. Munculnya krisis ekonomi Krisis ekonomi di Indonesia terjadi pada 1997 yang cukup besar dan dipicu dari krisis keuangan.Hal tersebut dimulai ketika nilai tukar bath (mata uang Thailand) terhadap dolar Amerika. Penurunan nilai kurs menyebabkan nilai utang luar negeri Indonesia yang sebelumnya sudah jatuh tempo menjadi membengkak. Jatuhnya nilai kurs baht selanjutnya menular di seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.Retaknya kekuasaan Orde Baru Era Orde Baru menerapkan sistem sentralistik dan militeristik. Hal ini dilakukan untuk menjaga status quo pemerintah. Sehingga seluruh unsur masyarakat dan bangsa sangat tergantung kepada negara. Akibat penerapan sistem tersebut, kemampuan unsur masyarakat dan bangsa diabaikan. Pola parternalistik juga menumbuhkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sementara hubungan bertumpu pada presiden dan menimbulkan penilaian bahwa presiden merupakan cerminan dari sistem itu sendiri. Sehingga jika figur tunggal kekuasaan jatuh, maka sistem atau rezim tersebut juga jatuh. Terbukti dengan lengsernya Soeharto akibat pergolakan masyarakat yang tidak terkendali.Sehingga terjadi perilaku yang tidak wajar di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat dan negara. Pola parternalistik juga menumbuhkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sementara hubungan bertumpu pada presiden dan menimbulkan penilaian bahwa presiden merupakan cerminan dari sistem itu sendiri. Sehingga jika figur tunggal kekuasaan jatuh, maka sistem atau rezim tersebut juga jatuh. Terbukti dengan lengsernya Soeharto akibat pergolakan masyarakat yang tidak terkendali.

SEJARAH REFORMASI

Era reformasi di indonesia dimulai pada tahun 1998, tepatnya saat presiden soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden saat itu, B.J Habibie. Periode ini dicirikan oleh lingkungan sosial politik yang lebih terbuka. Isu-isu selama periode ini di antaranya dorongan untuk menerapkan demokrasi dan pemerintahan sipil yang lebih kuat, elemen militer yang mencoba untuk mempertahankan pengaruhnya, islamisme yang tumbuh dalam politik dan masyarakat umum, serta tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Proses reformasi menghasilkan tingkat kebebasan berbicara yang lebih tinggi, berbeda dengan penyensoran yang meluas saat orde baru. Akibatnya, debat politik menjadi lebih terbuka di media massa dan ekspresi seni makin meningkat. Krisis finansial asia yang menyebabkan ekonomi indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi trisakti pada 12 Mei 1998 yang menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati. Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan. Reformasi adalah suatu perubahan tatanan kehidupan lama dengan tatanan kehidupan yang baru yang bertujuan ke arah perbaikan kehidupan di masa depan. Orang yang mendukung reformasi disebut dengan reformis. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Gerakan ini muncul karena keadaan keadaan masyarakat Indonesia sejak terjadinya krisis moneter dan ekonomi sangat terpuruk. Masalah yang dihadapi Pemerintah Indonesia saat itu ialah sulitnya kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) karena harganya yang sangat tinggi, sampai-sampai masyarakat pun harus antre untuk membelinya. Peristiwa ini ini diperparah dengan kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali. Oleh karena itu, kemunculan gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara agar kesejahteraan rakyat tercapai. 

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998%E2%80%93sekarang)

https://www.kompasiana.com/pagar_sianipar/5530166d6ea834f8208b4574/sejarah-reformasi

Pasca Reformasi

Pemerintahan otoriter Soeharto selama 32 tahun berakhir ketika rezim Orde Baru yang korup runtuh di tengah kekacauan ekonomi dan politik yang dipicu oleh Krisis Ekonomi Asia. Selama lima tahun setelah itu, kaum elit yang bertahan, oligarki, dan para pemimpin masyarakat sipil yang baru dan percaya diri perlahan-lahan menegosiasikan sistem demokrasi baru dengan ambisi liberal. Hal ini mengangkat cita-cita yang sebelumnya terus tertindas, namun masih gigih dipertahankan untuk negara hukum dan hak asasi manusia, serta politik, bisnis, dan wacana publik yang terbuka hingga ke beragam suara.

Sejak itu, Indonesia telah mendefinisikan dirinya dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa katalis tersebut, di tahun-tahun sejak Soeharto secara umum mengacu pada Era Reformasi. Begitulah bagaimana resonansi dari peristiwa pergantian abad, di mana istilah tersebut masih digunakan hingga saat ini, 20 tahun kemudian, meskipun semangat reformasi radikal yang mendorong demokratisasi sekarang memudar.

Kenyataannya, sebagian besar pendukung masyarakat sipil mungkin setuju reformasi telah lama berakhir, mungkin satu dekade atau bahkan satu setengah dekade yang lalu. Namun, label baru untuk menentukan apa yang menggantikan reformasi belum muncul, dan hal ini menggambarkan ketidakpastian di kalangan rakyat Indonesia tentang perubahan sosial dan politik baru-baru ini, dan ke mana arah negara mereka.


Beberapa kritikus terkemuka dari pemerintah mengklaim, walaupun demokrasi elektoral tampaknya telah mengakar, namun demokrasi liberal tengah berada di bawah ancaman populisme dan pembaruan konservativisme. Bagi mereka, Indonesia tampaknya meluncur ke arah apa yang mereka sebut “Neo-Orde Baru”.

Sementara yang lain mengatakan sebutan ini terlalu kasar, dengan alasan perubahan kritis yang menandai berakhirnya sistem Soeharto—mundurnya militer dari pemerintahan ke barak militer—belum berbalik. Mereka juga menonjolkan lembaga pemerintahan baru yang dibentuk pasca-Soeharto untuk memerangi penindasan dan korupsi yang menjadi karakter rezimnya, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta perkembangan masyarakat sipil yang beragam dan dinamis, dan media yang sebagian besar bebas, bahkan riuh.


Namun, lembaga-lembaga tersebut semakin sulit melakukan tugasnya: dengan merajalelanya korupsi yang mungkin merupakan masalah politik tunggal terbesar di Indonesia, KPK di bawah serangan konstan dari politisi dan polisi, Mahkamah Konstitusi terlibat dalam skandalnya sendiri, pers menghadapi peningkatan penggunaan undang-undang pencemaran nama baik yang menguntungkan politisi dan kaum oligarki, dan masyarakat sipil di bawah tekanan kaum elit.

“Neo-Orde Baru” mungkin bukan label yang tepat tetapi cukup jelas reformasi telah menjadi  sejarah. Apa yang tidak begitu jelas adalah di mana Indonesia akhirnya akan mendarat. Akankah demokrasi liberal bangkit kembali? Akankah para kaum oligarki yang berkuasa di Indonesia akhirnya menyempurnakan pengambilalihan pemerintah yang selama ini mereka lakukan dengan perlahan-lahan? Akankah Indonesia mengikuti Malaysia, mengakui hal istimewa politik untuk Islam dan melembagakan intoleransi? Atau apakah negara akan terus berkutat seperti yang terjadi selama sebagian besar abad ini?


Ketidakpastian yang diciptakan oleh semua ini sekarang merupakan salah satu karakteristik utama dari era pasca-reformasi, dan sumber dari banyaknya kebingungan dan kecemasan yang ada di masyarakat Indonesia. Ketegangan ini akan meningkat menjelang pemilu daerah tahun ini dan pemilu nasional pada April tahun depan. Kampanye hitam—berita palsu dan lainnya—sudah berlangsung dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada awal tahun 2019.

Pemilu akan menentukan pola kekuasaan dan dukungan untuk lima tahun ke depan, seperti yang selalu mereka lakukan, tetapi kampanye akan berlangsung sangat intens karena pemilu presiden dan legislatif akan diadakan bersama untuk pertama kalinya pada tahun depan.

Hasil yang mungkin masih belum jelas, kebanyakan karena pengaruh yang mengganggu dari manipulasi media sosial, dan ketidakpastian jutaan milenial muda yang akan memilih (setengah populasi negara tersebut berusia di bawah 40 tahun). Oleh karena itu, tidak mengherankan Pemilu 2019 sudah membayangi segala hal dalam kehidupan publik, sementara kaum elit mulai berebut jabatan.

Ketidakpastian yang mendominasi politik domestik akan memiliki dampak yang sangat besar bagi hubungan luar negeri Indonesia, karena ketidakpastian ini terjadi tepat saat Indonesia—yang berada di titik puncak status kelas menengah—mulai naik secara ekonomi.


Ekonomi RI mulai naik meskipun manajemen ekonominya tidak mengesankan. Untuk semua retorika dari pemerintah tentang keterbukaannya untuk bisnis, dan pengumuman rutin mengenai reformasi untuk memfasilitasi investasi asing, kenyataannya, Indonesia tetap sangat proteksionis. Sekelompok kecil kaum pebisnis yang kuat yang terus mendominasi ekonomi yang sangat tidak kompetitif, merupakan ladang ranjau bagi investor asing. Hal ini khususnya terjadi di tingkat daerah, di mana pengawasan dari pemerintah nasional lemah dan perilaku manipulasi merupakan hal yang umum di kalangan pemerintah daerah.

Namun, Indonesia mungkin akan tetap sejahtera, di mana lembaga survei mengklaim meskipun hanya dapat mempertahankan pertumbuhan PDB sebesar 5 persen saat ini, Indonesia akan segera menjadi negara kekuatan ekonomi global. Tentu saja, para pemimpinnya yakin dengan prediksi, pada 2030, Indonesia akan menjadi salah satu dari tujuh negara ekonomi terbesar di dunia, dan hal ini akan mengubah negara tersebut seperti saat pertumbuhan yang cepat mengubah China. Hal ini—dikombinasikan dengan bentangan geografis strategis Indonesia dan populasinya yang besar (pada saat itu akan mendekati 300 juta jiwa)—akan membuatnya menjadi pemain global, pikir mereka.


Apa artinya ini bagi Australia? Pada tahun 2008, pada puncak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ketika hubungan dengan Australia ada di tingkat yang terbaik, sebagaimana yang mereka katakan, Andrew McIntyre dan Douglas Ramage menulis makalah tajam berjudul Melihat Indonesia sebagai Negara Normal (Seeing Indonesia as a Normal Country). Di makalah tersebut, mereka berpendapat, RI telah berkomitmen untuk menjalankan demokrasi liberal dan berpartisipasi dalam komunitas internasional. Pluralisme, kata mereka, adalah “fakta mendasar dari masyarakat Indonesia”, dan Australia perlu untuk memikirkan kembali sikap zaman Soeharto pada Indonesia.

Sepuluh tahun kemudian, pemikiran ulang diperlukan lagi. Komitmen Indonesia untuk demokrasi elektoral tetap kuat, tetapi dukungan untuk demokrasi liberal tidak pasti, dan perhatian terhadap opini internasional sangat kurang. Kenyataannya, ekspektasi kebangkitan RI sudah memicu pengalaman populisme, xenophobia, dan ketegasan regional (sebagian besar dipicu oleh Sinophobia yang ganas).

Demikian pula, pluralisme—dan, khususnya, status agama, etnis, dan minoritas sosial—menghadapi tantangan besar dari meningkatnya intoleransi beragama. Apa yang disebut belokan konservatif—semakin besarnya pengaruh kelompok garis keras Islamis, yang ditekankan oleh rezim Soeharto selama sebagian besar kekuasaannya yang lama—adalah rekonsiliasi konsensus nasional tentang pluralisme. Sebenarnya, kelompok-kelompok ini sekarang tampaknya muncul sebagai aliran kanan Indonesia.

Demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh kelompok-kelompok Islamis yang mengarah pada kekalahan elektoral dan kemudian pemenjaraan terhadap Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama—Gubernur Jakarta keturunan China beragama Kristen—karena penistaan agama, mengejutkan banyak orang Indonesia dan pengamat asing. Lebih buruk lagi, para pendukung pluralisme dan hak minoritas merasa terintimidasi dan, dengan pengakuan mereka sendiri, mulai menyensor diri. Permintaan maaf Sukmawati Soekarnoputri, putri presiden pertama, yang dipaksakan oleh para kritikus Islamis karena sebuah puisi yang ditulisnya memuji budaya tradisional Indonesia atas budaya Islam, hanya akan meningkatkan efek jera dari belokan konservatif dalam wacana publik.


Semua ini berarti Australia akan perlu memeriksa ulang atas harapan-harapannya, di saat negara ini merenungkan masa depan dari era pasca-reformasi yang sangat tidak pasti, yang mungkin membuktikan negara ini menjadi kurang liberal dan kurang menyambut keterlibatan asing.

Kita perlu menyadari, ironisnya, bahkan ketika negara ini masuk ke taraf kelas menengah yang lebih makmur, hubungan Indonesia yang selalu bergejolak dengan negara tetangganya mungkin membuktikan hubungannya akan lebih sulit dalam satu dekade ke depan daripada sebelumnya sejak seabad terakhir ini.


https://www.matamatapolitik.com/pasca-reformasi-indonesia-neo-orde-baru-era-ketidakpastian/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Danantara antara Penyelamat atau Petaka

RUU TNI Sebagai Masa Depan Baru atau Bayang-bayang Lama?

Harganas 2025: Dari Keluarga untuk Indonesia Maju