"Tragedi Kemanusiaan G30/S PKI" 30 September 2024
"Badai Berdarah: Tragedi Kemanusiaan 1965"
Penumpasan G30S hanyalah awal dari rangkaian peristiwa berdarah yang kelak mencoreng sejarah bangsa. Soeharto dan para pendukungnya segera mengaitkan insiden ini dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu merupakan partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik peristiwa G30S, dan kemudian merancang strategi untuk membasmi orang- orang yang dianggap terkait dengan partai tersebut. Dalam suasana tegang pasca-G30S, PKI dan para simpatisannya menjadi target utama kekerasan di berbagai daerah. Ribuan orang yang diduga terkait dengan PKI ditangkap dan dibunuh tanpa proses hukum, termasuk pemuda, orang tua, perempuan, dan anak-anak. Kekerasan brutal ini dilakukan tidak hanya oleh aparat negara, tetapi juga oleh kelompok sipil, meluas ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan wilayah lain, menelan ratusan ribu nyawa tak bersalah dalam gelombang kebencian yang tak terkendali.
Seiring berjalannya waktu, kekerasan yang melanda Indonesia pasca-G30S perlahan mereda, tetapi dampaknya sangat mendalam dan bertahan lama. Soeharto, yang menggantikan Soekarno, membangun Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade, dengan kontrol ketat atas narasi tentang peristiwa 1965. PKI dijadikan sebagai ancaman yang terus menghantui bangsa. Transisi pasca-G30S menjadi titik penting dalam politik dan agama di Indonesia, termasuk pelarangan ideologi komunis yang turut mempengaruhi kehidupan beragama. Pembantaian 1965 meninggalkan luka mendalam pada bangsa, dengan ribuan nyawa melayang, keluarga terpisah, dan masyarakat terpecah. Mereka yang selamat, dikenal sebagai "eks-tapol," harus menghadapi stigma dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia memasuki era reformasi. Perlahan tapi pasti, masyarakat mulai berani mempertanyakan narasi resmi tentang peristiwa 1965. Para sejarawan, aktivis HAM, dan bahkan beberapa pejabat pemerintah mulai menyuarakan perlunya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Meskipun demikian, proses penyembuhan luka sejarah ini tidaklah mudah. Hingga kini, pembantaian 1965 masih menjadi topik yang sensitif dan kontroversial. Beberapa kelompok masyarakat masih memandang komunisme sebagai ancaman, sementara yang lain menuntut pengakuan dan permintaan maaf dari negara atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Sources: Adryamarthanino, V., & Indriawati, T. (2023, 2 Oktober). Pembantaian PKI 1965, Hari-hari Kelam Pasca-G30S. Diakses pada, dari https://kmp.im/app6https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/02/161808779/pemb antaian-pki-1965-hari-hari-kelam-pasca-g30s?page=2
Sources: Mardiyono, M. (2016). TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN MEKANISME PENYELESAIAN EXTRAJUDICIAL KILLINGS 1965. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 1(1), 29–44.
Sources: Pohlman, A. (2020). A Year of Truth and the Possibilities for Reconciliation in Indonesia. Genocide Studies and Prevention: An International Journal, 14(3), 69–82.
Sources: Sukamto, A. (2015). Dampak Peristiwa G30S Tahun 1965 Terhadap Kekristenan Di Jawa, Sumatera Utara dan Timor. Jurnal Amanat Agung, 11(1), 85–130.
Sources: Wahyuningroem, S. L. (2013). Seducing for Truth and Justice: Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32(3),
Komentar
Posting Komentar