Dalam sistem sosial kolonial dan feodal di masa lalu,
posisi perempuan Indonesia sangat terpinggirkan, terutama dalam hal akses
pendidikan dan partisipasi publik. Banyak perempuan yang dituntut untuk menikah
di usia muda tanpa mendapatkan pendidikan yang layak, suara mereka pun tidak
pernah didengar. Di tengah lingkungan sosial yang menyudutkan perempuan, Raden
Ajeng Kartini hadir sebagai pelopor perjuangan pendidikan bagi kaum perempuan.
Kita selalu merayakan Hari Kartini pada tanggal 21 April. Hari itu bukanlah
perayaan semata, namun juga menjadi momen refleksi atas kebangkitan perempuan
dan berkembangnya pendidikan bangsa Indonesia. Hari yang mengingatkan kita
untuk menghargai setiap langkah kemajuan perempuan serta terus memperjuangkan
hak-hak mereka.
Dalam menghadapi kesulitan dan stigma sosial pada
zamannya, Kartini melakukan banyak usaha demi memperjuangkan hak perempuan
untuk memperoleh pendidikan. Salah satu upayanya adalah dengan menyediakan
tempat belajar bagi perempuan di rumahnya. Perjuangan dan dedikasi Kartini
turut mengubah pandangan sosial terhadap perempuan secara perlahan. Bahkan
setelah beliau wafat, perjuangannya terus menginspirasi banyak orang. Sekolah
Kartini kemudian didirikan untuk melanjutkan cita-citanya dalam mengangkat
derajat perempuan melalui pendidikan. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Kartini
dan didanai dari penjualan buku kumpulan surat Kartini. Sekolah Kartini pun
berkembang dan tersebar ke berbagai daerah seperti Semarang, Madiun, Jakarta,
Bogor, dan lainnya.

Nilai-nilai yang Kartini perjuangkan begitu relevan
hingga hari ini: kesetaraan gender, kebebasan berpikir, dan pentingnya
pendidikan untuk kemajuan perempuan. Dalam salah satu suratnya, ia menulis: “I
long to be free, to be able to stand alone, to study, not to be subject to
anyone, and above all, never, never to be obliged to marry.” (Kartini, 1899).
Ia menyuarakan kekecewaannya terhadap budaya patriarki dan sistem yang tidak
memberi perempuan kesempatan memilih masa depannya. Ia bahkan menyatakan lebih
memilih menjadi pembantu dapur daripada menikah tanpa cinta atau tanpa
persetujuan pribadi.
Buku Letters of a Javanese Princess menunjukkan bahwa
Kartini bukan hanya simbol emansipasi perempuan, tetapi juga pemikir progresif
dari Timur yang menyadari pentingnya transformasi sosial. Ia tidak ingin
menjadikan kaumnya sebagai pseudo-Eropa, melainkan ingin membentuk
perempuan-perempuan Jawa yang cerdas dan tetap berakar pada identitasnya.
Melalui pendidikan, Kartini percaya perempuan dapat membebaskan diri dari
ketertinggalan dan menjadi penggerak perubahan, baik sebagai individu, ibu,
maupun warga bangsa.

Hari Kartini adalah waktu untuk merenungkan semangat
perjuangan Kartini yang tidak hanya tentang emansipasi, tetapi juga tentang
membangun peradaban melalui pendidikan. Pendidikan menjadi bekal penting bagi
perempuan untuk meraih mimpi, berpikir kritis, dan berkontribusi dalam
membentuk generasi masa depan. Maka dari itu, peringatan Hari Kartini harus
diisi dengan semangat untuk memperkuat fondasi emansipasi baik untuk diri
sendiri, generasi penerus, maupun bangsa. Sebab menjadi perempuan dan
memperjuangkan kesetaraan bukanlah proses yang mudah. Dibutuhkan ketekunan,
keberanian, dan pendidikan sebagai alat perubahan.
Referensi :
1.
Kartini, R.A. (1921). Letters of a Javanese Princess. Translated by Agnes
Louise Symmers. London: Duckworth & Co.
2. Fakultas Hukum UMSU. (n.d.). Profil R.A. Kartini: Emansipasi Wanita
Indonesia. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Diakses pada 8 April 2025 dari
https://fahum.umsu.ac.id/info/profil-r-a-kartini-emansipasi-wanita-indonesia/
3. Bacakoran.co. (2023, 21 April). Awal Berdiri Sekolah R.A. Kartini di
Semarang: Tempat Meraih Mimpi Perempuan Indonesia, Simak Sejarahnya. Diakses
pada 8 April 2025 dari https://bacakoran.co/read/24470/
Komentar
Posting Komentar