Tragedi Trisakti: Mengenang Pengorbanan, Menuntut Keadilan yang Belum Tuntas


Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 saat mereka melakukan demonstrasi damai menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Aksi tersebut merupakan bagian dari gelombang besar gerakan reformasi yang menyuarakan perubahan menuju pemerintahan yang lebih demokratis.

Demonstrasi dimulai sekitar pukul 10.30 WIB di pelataran parkir depan Gedung Syarif Thayeb (Gedung M), Universitas Trisakti. Aksi berjalan damai namun tidak tanpa ketegangan. Negosiasi sempat dilakukan antara mahasiswa dan aparat, hingga pada pukul 16.55 WIB, Kapolres dan Dandim Jakarta Barat menyampaikan terima kasih atas ketertiban mahasiswa, dan aparat pun mulai mundur perlahan di tengah hujan deras.

Namun situasi berubah drastis ketika seorang provokator bernama Mashud meneriakkan kata-kata kasar kepada massa dan mengaku sebagai alumnus. Massa yang terprovokasi menduga ia adalah aparat yang menyamar, sehingga mengejarnya hingga ke barisan aparat. Kejadian ini memicu ketegangan serius antara mahasiswa dan aparat.

Puncak tragedi terjadi pukul 17.00–18.30 WIB. Sejumlah aparat mulai melecehkan dan mengolok mahasiswa, lalu menyerang dengan tembakan dan gas air mata. Mahasiswa panik dan lari ke arah kampus. Kekerasan aparat meningkat: pemukulan, tendangan, injakan, dan pelecehan seksual terhadap mahasiswi turut terjadi. Ketua SMUT turut menjadi korban, terkena peluru karet di bagian pinggang. Aparat bahkan mengejar hingga ke dalam kampus dan menembaki mahasiswa dari luar pagar.

Tembakan membabi buta menyebabkan korban berjatuhan. Tiga mahasiswa dan satu staf tewas di tempat, sementara 15 lainnya luka akibat tembakan. Total korban luka dari berbagai kampus mencapai 681 orang. Kekerasan berlangsung hingga menjelang pukul 19.00
WIB.

Meskipun situasi mulai reda, mahasiswa kembali panik karena melihat aparat berseragam hitam dan penembak jitu di sekitar gedung kampus. Mereka kembali berhamburan mencari perlindungan. Setelah keadaan dianggap aman, mahasiswa mulai dievakuasi secara bertahap-lima orang setiap kelompok-dengan pengawalan, agar dapat pulang dengan selamat. Proses ini dibantu oleh dosen dan pihak keamanan kampus, salah satunya Arthur Damanik.

Empat mahasiswa yang gugur adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Mereka dikenang sebagai pahlawan reformasi yang mengorbankan nyawa demi masa depan bangsa.

Tragedi Trisakti tidak hanya memicu kerusuhan massal di Jakarta dan beberapa kota lain pada 13–15 Mei 1998, tetapi juga menjadi titik balik runtuhnya rezim Orde Baru. Komnas HAM telah menyelidiki Tragedi Trisakti dan menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2001 menyatakan bahwa Tragedi Trisakti, bersama dengan kasus Semanggi I dan II, bukanlah pelanggaran HAM berat, sehingga tidak merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Komnas HAM telah beberapa kali menyerahkan berkas penyelidikan kepada Kejaksaan Agung, namun berkas tersebut dikembalikan dengan alasan belum lengkap. Hal ini menunjukkan adanya stagnasi dalam proses hukum yang seharusnya menjadi langkah awal menuju keadilan.

Meskipun telah lebih dari dua dekade berlalu, penyelesaian Tragedi Trisakti masih menghadapi berbagai tantangan.Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang lebih kuat
dalam menegakkan keadilan dan menghormati hak asasi manusia, termasuk dengan mempertimbangkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku yang
bertanggung jawab.

Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Sebagai generasi muda yang menikmati hasil dari perjuangan reformasi, saya merasa bahwa
keadilan bagi para korban dan keluarganya masih jauh dari harapan. Empat mahasiswa gugur sebagai pahlawan reformasi, namun hingga kini, tidak ada satu pun pelaku yang benar-benar
dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Ini adalah bentuk nyata dari lemahnya keberpihakan negara terhadap penegakan HAM.

Pemerintah seharusnya tidak terus-menerus bersembunyi di balik pendekatan nonyudisial. Keppres yang dibentuk tidak cukup untuk memberikan rasa keadilan yang sejati. Komnas HAM telah menyatakan bahwa ini adalah pelanggaran HAM berat—maka sudah seharusnya dibentuk pengadilan HAM ad hoc, agar tragedi seperti ini tidak terulang di masa depan dan tidak dianggap remeh oleh aparat negara.

Referensi : 

Amnesty International. (1998). Indonesia: Tragedy at Trisakti - Failures of justice. Amnesty
International Publications. https://www.amnesty.org

Komnas HAM. (2002). Laporan Investigasi Pelanggaran HAM Berat Tragedi Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Tempo. (2008). Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Jakarta: Tempo Publishing.
Tirto.id. (2019, Mei 12). Tragedi Trisakti 12 Mei 1998: Tembakan yang Mengguncang Orde
Baru. https://tirto.id

BBC News Indonesia. (2018, Mei 12). 20 Tahun Tragedi Trisakti: ‘Kami Tak Lelah
Menuntut Keadilan’. https://www.bbc.com/indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Danantara antara Penyelamat atau Petaka

RUU TNI Sebagai Masa Depan Baru atau Bayang-bayang Lama?

Harganas 2025: Dari Keluarga untuk Indonesia Maju