Sekolah Rakyat, Ironi Ketimpangan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Bukan sekadar rancangan belaka, Kabinet Merah-Putih serius meresmikan Sekolah Rakyat pada tahun ajaran 2025/2026. Bukannya dikelola oleh Kementerian yang mengurusi pendidikan, sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem ini akan dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Ironis, bahwa sekolah ini menabrak sistem pendidikan nasional yang semestinya satu pintu.

Sekolah ini bertujuan untuk menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu dengan harapan mereka dapat meningkatkan kualitas hidup. 

Tujuan besarnya adalah untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pada 2026, Prabowo menargetkan kemiskinan ekstrem nol persen dan pada 2029 angka kemiskinan nasional di bawah lima persen. Akan tetapi, dengan sistem pendidikan nasional dan program pengentasan kemiskinan yang ada, lantas apakah Sekolah Rakyat ini tidak lebih dari buang-buang anggaran?

Sekolah Rakyat rencananya akan diluncurkan pada 14 Juli 2025 dengan jumlah 100 sekolah, 9755 siswa, 1554 guru dan 3390 tenaga pendidik. Konsepnya adalah sekolah asrama dengan jenjang SD, SMP dan SMA. Siswa akan mendapatkan fasilitas ruang belajar, olahraga, ibadah dengan kurikulum, talent mapping, akademik, penguatan karakter spritualitas, nasionalisme dan bahasa.

Siapa saja yang akan masuk Sekolah Rakyat? Persyaratannya adalah anak keluar desil 1 dan 2 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Sekolah ini baru berjumlah 200 titik dan sifatnya sementara, 100 dimiliki Kemensos dan Pemerintah Daerah, sisanya Kementerian Ketenagakerjaan melalui BLK dan UPTD lainnya. 

Total sebanyak 20.000 siswa ditargetkan untuk menempati sekolah asmara pada tahap pertama ini. Masing-masing sekolah memiliki daya tampungan berbeda, namun semuanya menerapkan prinsip pendidikan gratis. Negara akan menanggung seluruh kebutuhan siswa dengan anggaran Rp48, juta per siswa per tahun. 

Lebih lanjut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memastikan modal perlindungan dan pengasuhan anak masuk dalam kurikulum dan menjadi pedoman bagi kepala sekolah, guru serta tenaga pendidik. Sebulan lagi sekolah akan diluncurkan, akan tetapi Perhimpunan Pendidikan dan guru (P2G) mencatat ada empat persoalan utama mengenai sekolah rakyat. 

Pertama, soal tata kelola. Kehadiran sekolah rakyat menabrak sistem pendidikan nasional yang semestinya satu pintu. Bukannya fokus memperbaiki kualitas sekolah yang berada di daerah atau pedalaman, Prabowo malah membiarkan Kementerian lain menyelenggarakan sistem pendidikan sendiri-sendiri. 

Kedua, mekanisme rekrutmen guru dan skema penggajian juga belum jelas. Terlebih, jika guru-guru sekolah rakyat diusulkan digaji lebih tinggi, hal ini menimbulkan ketimpangan situasi di mana guru honorer hanya menerima ratusan ribu. 

Ketiga, kurikulum yang dikabarkan menggunakan model multi-entry multiexit. Artinya, siswa tidak harus masuk pada awal tahun ajaran dan tidak wajib memulai dari kelas dasar. Akan tetapi sampai sekarang tidak ada kejelasan tentang kurikulum. Terakhir, keberpihakan pada prinsip inklusivitas pendidikan. Menyatukan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dalam satu sekolah sangat bertentangan dengan semangat pendidikan inklusif. Ibaratnya, Prabowo mengkarantinakan anak-anak miskin. 

UU 20/2003 tentang Pendidikan Nasional menjamin setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Selama ini, jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal seperti pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Kemudian pendidikan nonformal yang berbentuk kursus, pelatihan, pusat kegiatan belajar masyarakat. Terakhir, pendidikan informal oleh keluarga dan lingkungan atau belajar secara mandiri. 

Kemunculan Sekolah Rakyat yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan dan Papua adalah sebuah penyelewengan dalam sistem pendidikan nasional yang seharusnya inklusif untuk semua anak-anak Indonesia.

Jika eksekusi yang serba terburu-buru dikontraskan dengan polemik yang membayangi Sekolah Rakyat, apakah cita-cita “suci” mengentaskan kemiskinan dan memberikan pendidikan berkualitas untuk anak-anak miskin dan miskin ekstrem, akan tinggal jadi proyek yang melahirkan gedung-gedung terbengkalai, guru-guru yang tak digaji layak dan diberi peningkatan kompetensi, anak-anak yang terisolasi dari pendidikan inklusif dan lingkungan yang Sejahtera dan anggaran yang terhambur untuk ditelan oleh tikus-tikus berdasi?

Sebagaimana Makan Bergizi Gratis (MBG), tak ada yang benar-benar gratis, termasuk Sekolah Rakyat. 


REFERENSI

https://www.tempo.co/politik/bagaimana-persiapan-daerah-menyambutsekolah-rakyat-1224873

https://www.tempo.co/politik/p2g-beri-empat-catatan-kritis-untuksekolah-rakyat-1230402

https://www.tempo.co/politik/penyebab-calon-guru-sekolah-rakyatmundur-dari-proses-seleksi-1805435

https://www.tempo.co/politik/sekolah-rakyat-siap-beroperasi-juli-2025-berikut-model-sekolah-dan-sistem-perekrutan-gurunya-1223404

https://www.tempo.co/info-tempo/sekolah-rakyat-kpai-pastikan-ramahanak-1885236

https://www.tempo.co/politik/serba-serbi-sekolah-rakyat-yang-siapberoperasi-14-juli-2025-1855102



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Danantara antara Penyelamat atau Petaka

RUU TNI Sebagai Masa Depan Baru atau Bayang-bayang Lama?

Harganas 2025: Dari Keluarga untuk Indonesia Maju