Di Bawah Bayang-Bayang Negara: Penulisan Ulang dan Sejarah Resmi Indonesia
Berdasarkan penjelasan Kementrian Kebudayaan, Fadli Zon, dalam kegiatan diskusi publik tentang draf penulisan buku sejarah Indonesia di Universitas Indonesia, beliau mengatakan bahwa, sejauh ini, buku sejarah resmi Indonesia belum mencakup secara menyeluruh peristiwa-peristiwa penting pasca-Reformasi, seperti masa pemerintahan setelah BJ Habibie, termasuk fenomena seperti gerakan separatis, kasus terorisme, pandemi COVID-19, dan sebagainya sesuai dari draf jilid ke-10.
Karena itu, narasi resmi masih berfokus pada periode sebelum dan sekitar 1998, sehingga meninggalkan kekosongan dalam mendokumentasikan dinamika politik dan sosial dua dekade terakhir. Dalam konteks inilah, penulisan ulang sejarah menjadi penting sebagai upaya memperbarui cakupan sejarah nasional secara lebih lengkap.
Namun, pembaruan narasi saja tak cukup jika tak disertai pelibatan yang adil. Tanpa transparansi dan keterlibatan berbagai elemen masyarakat melalui uji publik atau diskusi terbuka, kita patut mempertanyakan: untuk apa penulisan ulang ini sebenarnya dilakukan? Apakah sekadar mengisi kekosongan tahun, atau membangun ingatan kolektif yang lebih jujur dan inklusif?
Berdasarkan informasi yang beredar, agenda revisi sejarah nasional yang muncul dengan alasan mengisi “kekosongan 26 tahun sejarah” sayangnya belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan publik atau suara komunitas korban. Prosesnya terlihat lebih banyak digerakkan dari atas (top-down), dengan partisipasi yang terbatas.
Terlebih, ketika salah satu anggota tim, arkeolog Harry Truman, memutuskan mundur karena menilai prosesnya tidak transparan dan tidak berbasis pada prinsip ilmiah. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan krusial yang perlu kita ajukan ulang adalah: untuk siapa sebenarnya sejarah ini ditulis—untuk memulihkan ingatan kolektif, atau sekadar memenuhi agenda penguasa?
Penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan kini diarahkan dengan pendekatan yang disebut “tone positif”. Meski melibatkan ratusan penulis dan editor, wacana ini menuai respons kritis dari berbagai kalangan—mulai dari DPR, partai politik, hingga akademisi dan masyarakat sipil—yang menekankan pentingnya keterbukaan, keberagaman perspektif, dan fakta sejarah yang utuh. Penolakan terhadap narasi tunggal mencuat, terutama dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang menuntut agar sejarah tidak digunakan untuk menutup luka masa lalu atau mengaburkan kebenaran.
Sebagai salah satu bentuk transparansi yang dapat dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan agar terhindar dari gejala kontroversi terkait penulisan ulang sejarah nasional, maka diadakanlah uji publik, salah satunya di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, pada 28 Juli. Melalui laman media sosialnya, pemerintah juga mengumumkan akan menggelar diskusi publik serupa di Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat pada 31 Juli, dan di Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan pada 4 Agustus.
Dalam kegiatan ini, draf sejarah baru yang disusun selama hampir tujuh bulan oleh tim penulis akan dipublikasikan. Diskusi akan menghadirkan para penulis, editor umum, dan editor jilid, serta dapat diikuti secara daring melalui Zoom dan kanal YouTube resmi Kementerian Kebudayaan.
P, Felia. (2025, 30 Juni). Menulis Ulang Sejarah Indonesia, Untuk Siapa? The Indonesian Institute. https://www.theindonesianinstitute.com/menulis-ulang-sejarah-indonesia-untuk-siapa/
KEMENBUD. (2025, Juli 25). Diskusi Publik Draf Penulisan Buku Sejarah Indonesia | Universitas Indonesia [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=8D9JTzyeB6c
Mardianti, D. L., & Devy Ernis. (2025, 25 Juni). Kementerian Kebudayaan Gelar Uji Publik Penulisan Ulang Sejarah Hari Ini. Tempo. https://www.tempo.co/politik/kementerian-kebudayaan-gelar-uji-publik-penulisan-ulang-sejarah-hari-ini-2050782
Yunus, S. (2025, 9 Juni). Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah dengan Tone Positif. Tempo. https://www.tempo.co/politik/kontroversi-penulisan-ulang-sejarah-dengan-tone-positif-1673446
Komentar
Posting Komentar